Sampai saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki perangkat perundangan yang mengatur ihwal pelanggaran hak cipta di dunia internet (cyber). Perangkat yang ada --- Undang-undang No 14/1997 tentang hak cipta dan UU no 15 tahun 2001 tentang merek --- ternyata tidak bisa menjangkau dunia `maya` ini. Sehingga, kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta, Basrief Arief dalam Simposium Nasional HaKI 2001, di Jakarta, pekan lalu, persoalan pelanggaran hak cipta di internet belum bisa diantisipasi.
Bila ada perbuatan pidana menyangkut dunia cyber, katanya, aparat penegak hukum masih menggunakan KUHP. Mereka mengklasifikasikan tindak pidana tersebut ke katagori pencurian, perusakan, penipuan, persaingan curang, dan persaingan usaha tidak sehat.
Padahal, cyberspace yang tanpa tersekat oleh ruang dan waktu ini rawan menjadi sasaran pelanggaran hak cipta. Sebuah perusahaan bisa bebas menggunakan nama domain untuk kepentingan perusahaannya. Tidak seperti perdagangan tradisional, kata Basrief, di mana beberapa perusahaan yang berbeda bisa menjadi pemilik merek dagang yang sama, meskipun produk atau layanan jasanya berbeda. Di dunia cyber justru sebaliknya, hanya satu nama yang dapat diambil sebagai nama domain. Karenanya, sebuah perusahaan yang mendaftarkan pertama kali akan menggugurkan hak perusahaan lain untuk menggunakan nama yang sama di cyberspace.
Di Amerika Serikat dan Inggris, kata Basrief, pihak pengadilan telah memutuskan bahwa nama domain berfungsi sebagai trade merk (merek dagang). Sehingga perusahaan atau seseorang yang menggunakan sebuah nama untuk domain, padahal ia tidak berhak menggunakannya, akan dinyatakan bersalah karena melanggar merek dagang.
Di dunia percetakan, hak cipta dimaksudkan untuk melindungi kepentingan ekonomi para penulisnya. Hukum hak cipta hanya memproteksi pernyataan atau penyampaian ide, tapi bukan melindungi ide itu sendiri. Tentu saja hukum ini juga memproteksi originalitas seniman dan para inovatornya.
Karya cipta dalam media website memungkinkan seluruh karya seseorang dipublikasikan dengan salinan yang dapat didistribusikan kepada penggunanya. Masalahnya, salinan ini tidak sesederhana salinan kertas. Salinan elektronik ini dapat dengan mudah didistribusikan oleh pengakses.
Kalau materi yang disalin ada pada domain umum dipastikan tidak akan ada persoalan. Namun, masalah akan muncul jika pengakses adalah perusahaan media cetak yang akan mendistribusikan salinan itu ke pembacanya dengan merubah status penulisnya.
Umumnya, masalah ini masih menjadi hal biasa di Indonesia. Banyak media cetak yang menyalin informasi dari sebuah website tanpa menyertakan sumber informasi atau nama website tersebut. Hal seperti ini belum bisa dikatagorikan sebagi pelanggar hukum karena undang-undangnya memang belum ada.
Meskipun pelanggaran ini relatif masih bisa dimaklumi, kata Basrief, tetapi tetap tidak bisa ditoleransi. Solusinya, Indonesia harus secepatnya membuat Undang-undang khusus yang mengatur dunia cyber.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar